Berada di kota Semarang dan mengunjungi  Lawang Sewu  seperti sudah otomatis mengunjungi pula Tugu Muda yang ada di seberang. Ya, berada pa...

Wisata Malam Semarang! Tebak Warna Tugu Muda Hingga Menyusuri Kota Lama

Berada di kota Semarang dan mengunjungi Lawang Sewu seperti sudah otomatis mengunjungi pula Tugu Muda yang ada di seberang. Ya, berada pada satu lokasi dengan lawang sewu, tugu muda hanya dipisahkan oleh jalan raya. Sayangnya, banyak pengunjung yang biasanya hanya numpang lewat saja. Beda dengan saya, yang merasa sayang melewatkannya. Sore itu, kembalinya dari Candi Gedong Songo, ditemani Mas Jo saya menghabiskan sore di Tugu Muda. Meskipun sebenarnya sehari sebelumnya, saya dan teman-teman juga sudah sempat mampir di sana. 

Tugu Muda Siang Hari
Tugu Muda Siang Hari
Saya dan Mas Jo turun tepat di lampu merah sebelum Tugu Muda. Sedangkan Mba Dani melanjutkan perjalanannya menuju terminal Terboyo untuk berganti bus menuju kota asalnya, Kudus. Sore itu tampak beberapa muda mudi tengah asik duduk dan nongkrong di area Tugu Muda, pun dengan kami duduk diantara mereka untuk menunggu senja. Semburat warna orange kekuningan sudah tampak saat matahari mulai tenggelam di arah barat dan saya masih melakukan sesi wawancara dengan Mas Jo yang akan bersuara hanya saat saya lempari pertanyaan. Hufh! Entah harus saya apakan lagi kentongan mushola ini agar bisa bicara banyak.

Tugu Muda Sore Hari
Warna pertama
Kami sengaja memilih Tugu Muda ini sebagai tempat menghabiskan sore, karena saat malam hari Tugu ini akan berganti-ganti warna. Ya, seiring senja yang menghilang berganti petang, Tugu Muda di depan saya tiba-tiba berubah warna menjadi merah muda, sesaat kemudian menjadi hijau, biru, ungu, dll. Bukan berubah dalam artian yang sebenarnya, tugu itu aslinya masih berwarna batu kehitaman. Warna yang dimaksud berasal dari sorot cahaya berwarna yang ditata di sekeliling tugu berdiri sedemikian rupa sehingga cahaya tersebut jatuh tepat di badan tugu dan membuatnya tampak berwarna. Dengan berganti-gantinya warna tersebut, kami bermain tebak-tebak warna. Warna apa yang akan muncul setelah warna yang keluar sebelumnya. Saya yang menyukai warna hijaupun sangat excited saat warna tersebut muncul, dan segera meminta Mas Jo untuk mengambil gambar saya.




Tugu Muda sendiri adalah sebuah monumen yang dibuat untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan yang telah gugur dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang. Tugu Muda ini menggambarkan tentang semangat berjuang dan patriotisme warga semarang, khususnya para pemuda yang gigih, rela berkorban dengan semangat yang tinggi mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.


Puas memandangi dan bermain tebak warna Tugu Muda malam itu, kami melanjutkan perjalanan ke Lawang Sewu untuk merasakan sensasi mistisnya saat malam hari. Tetapi karena sehari sebelumnya kami sudah cukup puas mengelilinginya, maka kami tidak terlalu lama menghabiskan waktu disana, apalagi ruang bawah tanah yang biasa jadi icon uji nyali sedang ditutup karena proses renovasi. Dengan memasuki lorong-lorong gelap saja sudah cukup membuat bulu kuduk berdiri.

Lawang Sewu malam hari
Salah satu lorong di lawang sewu
Dari Lawang Sewu kami melanjutkan perjalanan dengan menyusuri Jl Pandanaran. Saya mampir sebuah toko oleh-oleh untuk saya bawa ke Bogor. Selain oleh-oleh, saya juga sempatkan membeli beberapa biji lunpia khas Semarang yang banyak dijajakan di pinggir jalan. Harga per bijinya sekitar 8-9 ribu rupiah. Sampai di Taman Pandanaran, saya sempat berfoto dengan sebuah patung maskot kota Semarang. Warak Ngendog!

Patung warak ngendog di Taman Pandanaran
Warak Ngendog sendiri merupakan mainan khas Kota Semarang yang biasanya hadir di perayaan tradisi Dugderan (festival menyambut bulan Ramadhan di Semarang). Mainan ini berwujud makhluk rekaan yang merupakan gabungan beberapa binatang yang merupakan simbol persatuan dari berbagai golongan etnis di Semarang: Cina, Arab dan Jawa. Kepalanya menyerupai kepala naga (Cina), tubuhnya layaknya buraq (Arab), dan empat kakinya menyerupai kaki kambing (Jawa).

Pujasera simpang lima Semarang
Kami berjalan kaki sampai kawasan simpang lima dan langsung menuju pujasera untuk mencari makan malam. Pujasera merupakan singkatan dari pusat jajan serba ada dimana di area ini banyak stan kuliner yang bisa kita pilih sesuai selera. Saya sengaja mencari salah satu makanan khas kota Semarang, yakni tahu gimbal. Tahu Gimbal sendiri hampir mirip dengan gado-gado atau pecel, hanya berbeda di isi saja. Tahu Gimbal terdiri dari tahu goreng, potongan kol mentah, tauge, lontong, telur, dan gimbal. Gimbal yang dimaksud ialah udang yang di goreng tepung menyerupai bakwan. Setelah itu semua bahan disiram sambel kacang. Bedanya, sambel kacang yang dipakai tahu gimbal ini memakai petis udang, dan lebih encer dibandingkan sambel kacang pada gado-gado atau pecel.

Tahu Gimbal Semarang
Lunpia Semarang
Dari pujasera simpang lima, kami melanjutkan perjalanan dengan angkot menuju kota lama. Di kota lama, saya menemukan bangunan tua dengan arsitektur khas Eropa. Kami menyusuri jalanan sepi malam itu dengan berjalan kaki, sampai kami berada di depan gereja blenduk. Geraja blenduk sudah berdiri sejak lebih dari 200 tahun yang lalu, dan menjadi salah satu landmark kota Semarang. Dinamakan geraja blenduk karena bangunan gereja ini terdapat 2 menara dan satu kubah besar. Kubah dalam bahasa jawa berarti blenduk.

Gereja Blenduk Semarang
Gereja Blenduk

Dari Gereja Blenduk, masih ditemani oleh Mas Jo, saya kembali berjalan kaki ke Stasiun Tawang untuk menunggu kereta yang akan mengantarkan saya kembali ke kota Bogor. Selesai sudah trip saya selama 2 hari 2 malam bersama Backpacker Joglosemar di Semarang. Big Thanks to Mamady atas undangannya untuk datang ke kota Semarang, dan terimakasih juga untuk teman-teman yang ikut memeriahkan acara selama di kota lunpia ini. Sampai jumpa lagi di kesempatan lainnya, Sayonaraaaa!

2 comments:

Terima kasih sudah berkunjung & berkenan meninggalkan komentar :)