Joko Sulistyo; Penerima SATU Indonesia |
Kering dan
gersang, barangkali kata itu yang akan Anda pikirkan saat mendengar nama Kota
Wonogiri. Salah satu kabupaten di Jawa Tengah ini memang dikenal sebagai salah
satu daerah yang mengalami kekurangan air. Kondisi alam yang berupa perbukitan
kapur menjadi salah satu faktor penyebab mengapa sumber air bersih sulit
ditemukan di kota ini.
Hampir
setiap tahun, terutama saat terjadi kemarau panjang, Wonogiri selalu memberikan
kabar perihal kekeringan. Bahkan tak jarang pula pemerintah setempat menetapkan
kondisi ini sebagai darurat bencana kekeringan.
Tahun ini
misalnya, Bupati Wonogiri mengeluarkan keputusan Nomor 271/2019 tentang
Penetapan Status Darurat Bencana Kekeringan di Kabupaten Wonogiri 2019. Disebutkan,
masa tanggap darurat kekeringan mulai 1 Agustus hingga 31 Oktober 2019.
Keputusan tersebut ditandatangani oleh Bupati Wonogiri Joko Sutopo pada 26
Agustus 2019.
Dalam
keputusan tersebut, setidaknya delapan kecamatan terdampak kekeringan dan
ditetapkan sebagai darurat bencana kekeringan. Di antaranya Paranggupito,
Pracimantoro, Giritontro, Giriwoyo, Eromoko, Nguntoronadi, Manyaran, dan
Selogiri. Ada sekitar 36 desa yang terdiri dari 12.361 kepala keluarga atau
45.627 jiwa.
Dana yang
harus dikeluarkan pemerintah daerah setiap tahun untuk menangani bencana
semacam ini tentu tidak sedikit. Tahun ini saja, setidaknya ada sekitar Rp970
juta dana tidak terduga yang digelontorkan pemerintah Kota Wonogiri untuk
mengatasi darurat kekeringan. Itu pun belum bisa mencukupi semua kebutuhan air
bersih di semua wilayah.
Oleh karena
itu harus ada inovasi baru yang dilakukan, baik oleh pemerintah maupun oleh
masyarakat itu sendiri untuk mengantisipasi dan mengurangi kekeringan yang terjadi
di Wonogiri setiap tahunnya. Misalnya menambah penampungan air atau mencari
sumber air baru. Seperti yang sudah dilakukan oleh masyarakat Desa Pucung,
Kecamatan Eromoko, Kabupaten Wonogiri.
Desa Pucung Berlangganan Kekeringan Setiap Tahun
Pucung;
adalah sebuah desa yang berada di ujung barat Kota Wonogiri, berjarak sekitar
30 km dari pusat kota dan berbatasan dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY). Desa ini merupakan satu dari sekian banyak desa lain yang sejak dahulu
berlangganan krisis air setiap tahunnya. Setidaknya, hingga tahun 2013 sejumlah
544 kepala keluarga yang terdiri dari 2.350 jiwa hanya mengandalkan kebutuhan air
dari sumur bor Bayanan yang memiliki jarak 2 km dari desa. Mereka harus
mengambil sendiri air dari sumur tersebut menggunakan jeriken. Jumlahnya pun
dibatasi dengan hanya 60-80 liter/orang agar bisa merata ke semua warga.
Sumur bor
Boyanan tak selalu bisa diandalkan. Sumber air ini terbatas dan sering tak
mengalir terutama saat memasuki musim kemarau. Untuk itu, warga juga terbiasa
memanfaatkan air hujan. Mereka menampungnya ke dalam bak yang selalu ada di
setiap rumah. Jumlahnya tentu saja masih belum bisa memenuhi kebutuhan air
bersih selama satu tahun penuh.
Memasuki puncak
musim kemarau atau biasa terjadi pada bulan Agustus adalah waktunya masyarakat
desa ini bersiap menguras pundi. Saat sumber air mengering dan bak penampungan kosong,
satu-satunya solusi adalah membeli air tangki.
Tangki air
bermuatan 6000 liter yang mereka datangkan dari Yogyakarta, Pracimantoro dan
sekitarnya, harus mereka tebus minimal dengan Rp150 ribu. Itu pun hanya
bertahan sekitar satu pekan atau memenuhi kebutuhan satu keluarga yang terdiri
dari 4-5 jiwa.
Kondisi seperti
ini terjadi berulang setiap tahun, hingga pada 2013 lalu masyarakat Desa Pucung
mampu mendapatkan sumber air baru dari sebuah gua vertikal yang berkedalaman 44
meter.
Joko Sulistyo dan Kawan-kawan Membawa Harapan
Adalah Joko
Sulistyo, seorang mahasiswa baru Universitas Muhammadiyah Surakarta yang datang
ke Desa Pucung membawa harapan serta perubahan bagi masyarakat desa setempat. Tahun
2001, ia bersama beberapa teman dari Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) KMP Giri
Bahama, melakukan kegiatan jelajah gua. Setidaknya, ada sekitar 13 gua yang
mereka jelajahi di sekitar desa tersebut.
“Kami selalu ke sana untuk jelajah gua. Kemudian kami
berpikir, bagaimana bisa melakukan suatu hal yang bermanfaat sebagai timbal
balik kepada masyarakat setempat. Setidaknya di sana kami tidak sekadar
blusukan gua saja”
kata Joko, saat saya temui di kediaman rumahnya beberapa waktu lalu.
Joko
kemudian mengajak beberapa warga untuk ikut serta masuk ke dalam Gua Suruh; gua
vertikal yang diketahui memiliki sumber air di dalamnya. Sebelumnya, belum
pernah ada satu pun warga desa yang masuk ke dalam gua tersebut, sehingga tak
ada yang tahu seperti apa kondisi di dalamnya. Selain karena berbahaya, gua
juga masih dianggap warga desa sebagai tempat yang wingit.
“Sampai di dalam gua, warga terkejut. Mereka
menganggap sumber air itu cukup besar, padahal sebelumnya kami menganggap itu
biasa saja” jelasnya.
Survey ke Dalam Gua Suruh (Dok. Joko Sulistyo) |
Joko menambahkan
sebenarnya kualitas air tersebut tak terlalu baik karena kandungan kapur yang
cukup tinggi.
“Sebenarnya hanya air baku, yang penting ada dulu. Itu
sudah lebih baik, apalagi biasanya mereka menggunakan air tadah hujan. Jadi
bagi warga air tersebut tetap berharga. Asal air diendapkan sampai tidak
berwarna, berasa, dan berbau itu sudah lebih dari cukup” jelas Joko.
Joko kemudian
mendokumentasikan sumber air di dalam gua tersebut dan membawanya ke Balai Desa
untuk dipertontonkan kepada kepala desa & warga lainnya. Sama seperti warga
yang ikut masuk ke dalam gua, respon warga lain yang hadir di sana pun sangat
antusias dengan penemuan tersebut.
Joko Menunjukkan Dokumentasi Gua Suruh kepada Warga Desa (Dok. Joko Sulistyo) |
Proses Panjang Mendorong Air Naik ke Permukaan
Sejak saat
itu, masyarakat desa mulai mencari cara untuk menaikkan air ke permukaan. Menaikkan
air dari dalam gua vertikal dengan kedalaman puluhan meter bukan perkara yang
mudah. Mereka harus berfikir teknologi seperti apa yang bisa digunakan. Bisa
dimaklumin, pada tahun itu akses informasi belum semudah seperti sekarang ini.
Selain waktu
dan tenaga, yang paling mereka butuhkan adalah dana. Untuk itu, proposal pun
mulai dikirim ke berbagai instansi. Sayangnya tak satu pun yang mau menyetujui.
“Entah berapa kali kami gagal mengajukan proposal
bantuan. Bahkan orangnya sudah kami ajak turun, tapi respon mereka justru pesimis.
Katanya dengan kondisi itu, air tak akan mungkin bisa dinaikkan” kata Joko sambil mengenang.
Meski
demikian, semangat Joko dan masyarakat desa tak pernah padam. Hingga pada tahun
2011 kabar baik pun datang. Dana sekitar Rp 350 juta mereka peroleh dari Dana
Alokasi Khusus (DAK) dan bantuan dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDI),
bisa mereka gunakan untuk membeli bahan dan alat seperti pompa, pipa, dan
material lainnya.
“Pompa yang dipakai harganya gak murah mas. Seperti pompa
yang biasa di hotel-hotel, jadi bisa menyedot air dari kedalaman puluhan meter” terang Joko.
Warga desa
dan teman-teman mahasiswa yang tergabung dalam Mapala ikut dilibatkan dalam
pengerjaannya. Karena medan yang cukup sulit dan tak sembarangan untuk
memasukinya, maka Joko dkk terlebih dahulu memberikan pelatihan kepada warga.
Pelatihan kepada Warga Sebelum Masuk Gua (Dok. Joko Sulistyo) |
“Jangan bayangkan
seperti gua wisata mas. Gua Suruh itu gua vertikal, di mana kami harus turun
melewati lorong sempit sekitar 17 meter menggunakan tali, kemudian turun lagi
belasan meter, dilanjutkan dengan berjalan kaki, baru bisa ketemu sungai”
Joko menggambarkan kondisi gua.
Semangat
warga desa yang menyala juga dirasakan oleh Joko. Tak jarang mereka menginap di
dalam gua demi mempercepat pengerjaannya. Untuk menurunkan material saja,
dibutuhkan waktu sekitar 9 hari lamanya. Total ada sekitar 15 ton material yang
mereka bagi dalam kantong-kantong plastik agar lebih mudah membawanya.
Material Dikemas dalam Plastik (Dok. Joko Sulistyo) |
Gotong Royong Membawa Material (Dok. Joko Sulistyo) |
Selesai
mengangkut material, pengerjaan dilanjutkan dengan membangun bendungan di
sekeliling sumber. Setelah itu dilanjutkan dengan instalasi pipa, pemasangan
pompa, hingga pembangunan tower air di atas bukit.
Pembangunan Bendungan dalam Gua Suruh (Dok. Joko Sulistyo) |
Instalasi Pipa (Dok. Joko Sulistyo) |
Jika
dihitung sejak pertama kali rencana pembangunan ini dibuat, butuh waktu sekitar
12 tahun hingga air benar-benar bisa sampai ke permukaan. Bayangkan saja, Joko
yang saat pertama kali masuk gua masih berstatus mahasiswa baru, saat
pengerjaan selesai di tahun 2013 ia sudah berkeluarga dan memiliki anak satu.
“Saya harus bolak-balik Klaten-Wonogiri waktu itu mas.
Paling berat saat anak saya mau lahir. Di sana lama-lama kepikiran yang di
rumah. Lama di rumah kepikiran yang di sana” Joko kembali mengenang.
Hasil jerih
payah mereka pun terbayar lunas. Air berhasil didorong ke permukaan menggunakan
pompa. Kini, masyarakat Desa Pucung dan sekitarnya yang berjumlah sekitar 1400
kepala keluarga bisa menikmati gemericik air Gua Suruh kapan saja.
Air Akhirnya Bisa Sampai ke Permukaan (Dok. Joko Sulistyo) |
Tak Sengaja Mendaftar SATU Indonesia
Atas
kontribusi Joko dkk inilah, akhirnya pada 2013 lalu ia terpilih sebagai salah
satu penerima Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards. SATU
Indonesia sendiri merupakan ajang apresiasi oleh Astra kepada anak bangsa yang dinilai
telah memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.
Penghargaan
ini ia dapatkan secara tidak disengaja. Awalnya, Joko yang memiliki hobi
fotografi berniat untuk mengikuti lomba foto Astra. Dari sana ia akhirnya
justru mendaftar sebagai peserta SATU Indonesia awards.
“Saya cuma iseng aja itu mas. Malah hampir
didiskualifikasi karena saya tidak angkat telepon berkali-kali. Saat itu saya
lagi ada di Maluku jadi agak susah sinyal. Eh lha kok malah menang” kata Joko sembari tertawa.
Dari SATU
Indonesia Awards, Joko mendapatkan dana bantuan. Dana tersebut ia manfaatkan
untuk membeli pompa cadangan serta biaya pemeliharaan.
Ajang SATU
Indonesia Awards sendiri dimulai sejak tahun 2010 lalu dan sudah memberikan banyak
apresiasi kepada puluhan nama anak bangsa berprestasi yang berasal dari
berbagai daerah dan dari berbagai bidang. Di mana prestasi untuk penghargaan
ini dikategorikan dalam bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan,
teknologi, serta satu kategori yaitu kelompok yang mewakili kelima bidang
tersebut.
Banyak
kriteria yang ditentukan oleh astra dalam pemilihan. Meliputi motivasi/latar
belakang dilaksanakan kegiatan, hasil dari kegiatan yang diciptakan, jumlah dan
dampak perubahan kepada masyarakat, rintangan dalam menjalankan kegiatan, dan
keberkelanjutan dari kegiatan yang dilaksanakan.
Jika melihat
kembali apa saja yang telah dilakukan Joko dkk untuk kepentingan Desa Pucung,
tak mengherankan jika namanya masuk dalam daftar penerima SATU Indonesia Awards
tahun 2013 lalu. Beruntung saya bisa berkenalan dan berbincang secara langsung dengan bapak satu anak yang mampu membawa
perubahan untuk masyarakat Desa Pucung dari bencana kekeringan.
Sesaat
sebelum pamit, saya sempat memintanya untuk memamerkan pialanya sekadar untuk diabadikan.
Alih-alih mengambil piala, ia hanya menunjukkan sebuah foto kenangannya saat
malam penganugerahan.
“Piala saya simpan di Sekretariat Mapala, supaya bisa
menginspirasi angkatan setelah saya. Karena bagi saya SATU Indonesia yang saya
terima bukan milik saya saja, tetapi juga untuk teman-teman Mapala serta
masyarakat desa. Bagaimanapun juga kami telah bekerja bersama”
Tabik.
#KitaSATUIndonesia
#IndonesiaBicaraBaik
*Tulisan
ini diikutsertakan dalam Anugerah Pewarta Astra 2019
Wah keren mas aji.
ReplyDeleteGa sia-sia apa yang telah dikerjakan dan akhirnya bisa bermanfaat bagi sesama.