Klaten; sebuah kabupaten di Jawa Tengah yang barangkali tak begitu
dikenal oleh banyak orang. Namanya memang tak setenar dua kota yang mengapitnya,
Surakarta dan Yogyakarta. Padahal jika ditengok lebih dalam, kota ini juga menyimpan
begitu banyak warisan dan kearifan lokal yang patut dilestarikan.
Di bagian ujung timur kota ini misalnya. Ada sebuah desa yang hingga
saat ini masih melestarikan salah satu warisan leluhur yang termasyhur. Bahkan
sebagian masyarakatnya, menjadikannya sebagai sumber pundi penopang
perekonomian. Selamat datang di Desa Sidowarno, sentra seni tatah sungging
wayang kulit yang bertahan melawan kepunahan.
Pendi; Penatah Wayang Termuda di Sidowarno (dok. pribadi) |
Pagi itu saya bertemu Pendi. Seorang pemuda berusia 29 tahun yang sudah
sejak empat tahun lalu menekuni profesinya sebagai salah satu pengrajin tatah
sungging wayang kulit di desa ini. Sebagai pengrajin yang berusia muda, ia kerap
mengundang banyak tanya. Di saat anak muda lain memilih hijrah ke kota untuk
menjadi seorang eksekutif muda, ia justru memilih menetap di desanya. Bukan sekadar
meneruskan profesi ayahnya, tetapi ia juga memelihara kelestarian warisan
bangsa.
Kedatangan saya disambut Pendi dengan ramah. Pun oleh anggota keluarga
lain yang pagi itu tampak tengah asyik bersantai di teras rumah. Hangat dan
bersahaja, kesan pertama saya pada mereka. Pendi kemudian menghentikan
pekerjaannya dan mempersilakan saya duduk di kursi terasnya. Tak butuh waktu
lama untuk menjelaskan maksud kedatangan saya. Ia pun dengan senang hati
mempersilakan saya untuk bertanya.
“Ya, seperti ini aktivitas saya dan keluarga
sehari-hari mas. Monggo, silakan kalau ada yang ingin ditanyakan.”
Awal Mula Seni Tatah Sungging di Sidowarno
Pertanyaan pertama saya tak lain adalah tentang perjalanan Dukuh Butuh,
Desa Sidowarno sebagai sentra seni tatah sungging yang bisa bertahan hingga
saat ini. Ia pun menjelaskan bahwa seni tatah sungging mulai masuk ke desanya
sekitar tahun 1955. Kala itu, beberapa orang dari desanya belajar dari desa
lain di kabupaten tetangga. Keahlian itu pun kemudian disebar luaskan dan
diwariskan pada keturunannya. Ayah Pendi, Saiman (56 tahun) bahkan sudah menekuni
profesi ini sejak tahun 1974 dan tercatat sebagai pengrajin seni tatah generasi
kedua.
Ketekunan masyarakat desa ini membuat seni tatah sungging semakin
berkembang. Dari yang awalnya hanya 2 hingga 3 pengrajin saja, kini jumlahnya menjadi
sekitar 70-80 pengrajin. Namun hal itu tak lantas membuat pengrajin wayang merasa tenang.
Ada kekhawatiran jika seni tatah sungging wayang ini lambat laun akan
menghilang. Bukan tanpa alasan, karena beberapa tahun belakangan jumlah
pengrajinnya tak ada lagi perkembangan, bahkan nihil dari regenerasi baru yang
bermunculan.
“Saya termasuk pengrajin paling muda mas. Cari
generasi penerus itu agak sulit di sini.”
Proses Tatah Sungging Wayang Kulit
Dalam proses pembuatannya, wayang kulit membutuhkan beberapa tahap dan
proses yang panjang. Untuk memudahkan pengerjaannya, biasanya setiap anggota
keluarga dilibatkan dengan andil yang berbeda. Sambil bercerita, Pendi pun menunjukkan
prosesnya.
Lembaran Kulit Kerbau Bahan Baku Wayang Kulit (dok. pribadi) |
Sebuah lembaran kulit kerbau yang berukuran besar ia perlihatkan. Kulit
tersebut ia dapatkan dari pengepul yang berasal dari Banyudono, Boyolali. Untuk
dijadikan bahan baku pembuatan wayang, sebelumnya lembaran kulit kerbau tersebut
harus melalui proses perendaman, penjemuran, dan pengerokan untuk menghilangkan
bulunya.
Di Sidowarno sendiri ada seorang pengrajin yang khusus melakukan proses
pengerokan ini, sehingga Pendi dan pengrajin lain tak perlu melakukannya.
Lembaran kulit yang sudah kering dan bersih ini kemudian dipotong-potong sesuai
ukuran wayang yang akan dibuat. Selanjutnya kulit kembali direndam selama setengah
hari dan masuk ke tahap kentheng. Di
tahap ini, kulit akan dipaku di atas papan kayu dan dibiarkan selama 4-5 hari.
Proses ini bertujuan agar kulit lebih kencang dan rata sempurna tanpa ada
gelombang atau kerutan.
Proses Kentheng(dok. pribadi) |
Pendi kemudian mengajak saya melihat proses nyoret yang sedang dilakukan oleh Saiman. Nyoret adalah proses menyontek sketsa gambar wayang yang akan
dibuat. Meski hanya menyontek, namun proses ini membutuhkan kehati-hatian.
Salah-salah, bentuk wayang tidak sesuai dengan tokoh wayang yang diharapkan.
Proses Nyoret oleh Saiman (dok. pribadi) |
Proses Nyoret (dok. pribadi) |
Selanjutnya tibalah pada proses inti, yakni menatah atau memahat. Proses
ini ditunjukkan langsung oleh Pendi. Paku pahat berbagai ukuran ia mainkan
untuk mendapatkan bentuk yang diinginkan. Butuh kesabaran agar hasilnya halus
dan rapi. Bahkan proses ini membutuhkan waktu berhari-hari. Biasanya, Pendi
mengerjakan proses ini di dalam ruangan saat pagi atau malam hari, sebab dengan
cara ini kelembaban kulit bisa terjaga selama proses penatahan.
Proses Menatah (dok. pribadi) |
Proses Menatah (dok. pribadi) |
Dari menatah saya kemudian mendatangi Sri Asih, Ibu Pendi yang memiliki
tugas untuk proses sungging atau pewarnaan. Proses ini juga tak kalah penting
karena menjadi bagian dari proses akhir pembuatan wayang kulit. Ulat-ulatan atau raut muka wayang juga
menjadi tanggung jawab penting bagian ini. Dengan ulatan yang rapi, membuat kesan raut muka wayang lebih hidup.
Proses Menyungging (dok.pribadi) |
Proses Menyungging (dok. pribadi) |
Kembali ke Saiman, saya kemudian ditunjukkan proses pengelukan atau pemasangan
pegangan wayang. Pegangan wayang yang terbuat dari tanduk kerbau dipanaskan di
atas api teplok, kemudian dibentuk lengkungan-lengkungan mengikuti bentuk
wayang. Untuk mengikatnya, Saiman menggunakan jarum dan benang. Wayang pun
siap untuk dipasarkan.
Proses Pengelukan (dok. pribadi) |
Proses Pengelukan (dok. pribadi) |
Pemasaran dari Mulut ke Mulut
“Untuk pemasaran, kebanyakan getok tular aja mas. Jadi
ya dari mulut ke mulut.”
Pendi tak pernah mematok harga pasti dari setiap wayang yang dibuat.
Menurutnya, semua tergantung ukuran, kerumitan, pewarnaan dan kualitas tatahan.
Biasanya ia menjualnya di kisaran 400 ribu sampai 5 juta rupiah. Ia
mencontohkan, sebuah wayang bisa memiliki nilai harga hingga 5 juta rupiah
karena menggunakan lapisan emas murni pada proses penyunggingan atau pewarnaan,
atau kualitas tatahan yang halus, rapi, dan detail. Kemudian ia juga
menunjukkan salah satu wayang pesanan berukuran besar. Menurutnya, dibutuhkan waktu dan ketelitian lebih untuk membuat wayang tersebut, sehingga harganya pun menyesuaikan. Pelanggan Pendi
sendiri rata-rata adalah seorang dalang, kolektor, dan beberapa pedagang.
WayangPesanan Berukuran Besar (dok. pribadi) |
Wayang Pesanan Berukuran Besar (dok. pribadi) |
Melihat proses tatah sungging yang begitu rumit, saya semakin penasaran dengan
alasan Pendi yang tergerak untuk melakoni bisnis ini. Ia pun menjawab dengan
mantap :
“Saya pernah bekerja
di perusahaan dan mendapat gaji yang hanya segitu-segitu saja. Sementara melihat
bapak saya yang tekun membuat wayang, justru mendapat hasil yang lebih besar.
Suatu hari bapak kewalahan mengerjakan pesanan. Saya fikir, kenapa saya tidak
mencoba membantunya. Ternyata selain hasilnya lebih menjanjikan, saya juga mendapat
kepuasan batin. Saya senang bisa memegang tongkat estafet regenerasi salah satu
warisan negeri ini”
Pendi yang dulu tak pernah terfikir untuk menjadi pengrajin, saat ini
justru ikut merasa resah dengan semakin sulitnya regenerasi pengrajin seni
tatah sungging ini. Apalagi desa di kota tetangga yang sebelumnya menjadi
tempat belajarnya pengrajin tatah sungging Desa Sidowarno kini jumlah
pengrajinnya semakin berkurang dan terancam hilang. Tak ingin desanya bernasib
sama, Pendi dan kawan-kawannya pun berupaya mencegahnya.
Menjadi Bagian dari Kampung Berseri Astra
Beruntung, keunikan dan semangat masyarakat Sidowarno sebagai sentra
seni tatah sungging didengar oleh Astra. Tahun ini, Sidowarno pun telah resmi
menjadi kampung ke 74 Kampung Berseri Astra. Ada sejumput harapan baru oleh
masyarakat Sidowarno di sana. Di mana gairah kampung kebanggaannya ini
kemungkinan bisa semakin menggeliat.
Sejauh ini, pemanfaatan seni tatah sungging oleh masyarakat Sidowarno
memang hanya sebatas memproduksi dan belum dimaksimalkan dari sisi lainnya. Padahal
jika potensi ini bisa dikelola dengan baik, tak menuntut kemungkinan bisa
mengangkat perekonomian semua lapisan masyarakat dari berbagai bidang. Salah
satunya, dari bidang pariwisata.
Setidaknya ada dua hal yang menjadi konsentrasi para pengrajin di
Sidowarno dengan adanya program KBA Astra ini, yakni bisa membantu menciptakan
regenerasi baru dan menjadikan Sidowarno sebagai salah satu desa wisata.
“Kami masih mencari formula, bagaimana manfaat program
KBA ini nantinya bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, tidak hanya kami
para pengrajin saja.”
Ungkap Pendi di sela-sela obrolan kami.
Sesuai dengan 4 Pilar Program CSR Astra
Selaras dengan 4 pilar program CSR Astra, yakni pendidikan, kewirausahaan, kesehatan, serta lingkungan,
Pendi dan kawan-kawan memiliki perencanaan dalam keempat bidang tersebut agar
seni tatah sungging yang mereka miliki bisa lebih diberdayakan serta
mencegahnya dari kepunahan.
Program paling utama di bidang pendidikan akan difokuskan pada upaya
menciptakan regenerasi baru yang kian sulit. Di antaranya dengan memberikan
beasiswa pendidikan bagi 35 siswa asal Dukuh Butuh dan mengadakan demo
pembuatan wayang serta sosialisasi ke sekolah-sekolah untuk memberikan edukasi tentang
betapa pentingnya belajar seni tatah sungging demi eksistensi wayang kulit di
kemudian hari.
Di bidang kewirausahaan, para pengrajin akan diberikan pembekalan mengenai
sistem administrasi. Selama ini, umumnya pengrajin hanya melakukan pekerjannya
secara konvensional tanpa ada pencatatan atau pembukuan. Dengan pembukuan yang
rapi, diharapkan para pengrajin bisa mengatur keuangan dengan baik. Untuk
membangun branding Desa Sidowarno sebagai desa sentra seni tatah sungging
wayang kulit, masyarakat juga akan membangun sebuah gapura sebagai tanda bahwa desanya
merupakan salah satu sentra seni tatah sungging yang tersisa.
Sementara itu sebagai bentuk pelayanan bagi masyarakat, tak lupa program kesehatan
direncanakan dengan mengadakan penyuluhan kesehatan secara rutin dan pengadaan
obat gratis bagi masyarakat utamanya bagi para lansia.
Pendi juga menuturkan, masyarakat Sidowarno berencana membangun bank
sampah sebagai bentuk kepedulian lingkungan. Masyarakat akan didorong untuk
bisa memilah sampah organik dan anorganik.
“Saat ini
memang masih dalam proses perencanaan, karena kami masih sangat baru.
Insyaallah tahun 2019 semua program bisa berjalan.”
Melalui program 4 pilar yang telah disebutkan, Pendi berharap program
KBA tidak hanya dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat Sidowarno, namun juga
mampu menanamkan rasa cinta dan minat kawula muda Sidowarno terhadap seni tatah
sungging wayang kulit ini. Sehingga nantinya tak ada lagi kekhawatiran pengrajin
wayang akan menghilang.
Dua Generasi Pengrajin Seni Tatah Sungging (kiri) Saiman, (kanan) Pendi. (dok. pribadi) |
Kendati saat ini masih dalam proses perencanaan, tetapi sebagai embrio
Kampung Berseri Astra, Sidowarno memiliki semangat yang menyala untuk bisa mendunia.
Terima kasih Astra!
*Tulisan ini diikutsertakan dalam Anugerah Pewarta
Astra 2018
Baca juga :
baru tahu klo ada kampung wayang
ReplyDeleteAda dong. Di Wonogiri jg ada
DeleteWohooo akhirnya ikutaaaan. Semangat ya Om Ajiii semoga sukses ����
ReplyDeleteHahaha siapppp makasi mba sha
DeleteAku pingin main ke Sidowarno, kenalkan sama orang2nya ya..
ReplyDeleteMenarik tulisannya.. Semoga sukses..
Siap mas. Ayo agendakan. wkwkwk
DeleteBaru tahu klo ternyata artikelnya buat ikutan lomba
ReplyDeleteWkwkwkwk pas sadar, uda beres baca ya mas? hahhaa
DeleteKetemu pak pendi ya, kamu beruntung kesananya pas produksi. Kemarin aku pas libur e
ReplyDeleteYuhuuu... Lah kamu kok gak nyari pegrajin lain? kan ada banyak banget
Deletepunya satu buat koleksi kayaknya menarik, termurah 400k hehehe
ReplyDeleteWah selain pandai nyanyi campursari km koleksi wayang jg mas? Luar biasa cinta budaya anda... 😂
DeleteInformatif sekali, mas. Sekarang aku jadi tahu langkah-langkah membuat sebuah wayang kulit. Menurutku, perlu kerjasama berbagai pihak untuk melestarikan budaya. Ada orang-orang yang sebetulnya tertarik, tapi perlu dikasihtahu atau diingatkan.
ReplyDeleteBetul. Memang harus sama2 menjaganya. Ya semoga Sidowarno gak kehilangan regenerasi mas.
DeleteYang paling membingungkan kalau blusukan ke tempat-tempat yang emang bukan destinasi wisata khusus, kemana harus menuju? Kepada siapa harus bertanya? Dan gimana menjelaskan kepada warga kalau kita ingin melihat-lihat desa mereka tanpa terasa aneh di mata mereka hahaha...
ReplyDeleteTapi Klaten, dengan semua potensi lokal dan kearifannya emang layak dilihat. Minimal melihat gimana proses membuat wayang..
Rata2, desa sentra kerajinan punya paguyuban mba. Nah bisa cari rumah ketua paguyubannya. Biasanya bakal dpt banyak cerita dari sana.
Deleteuntuk membuat satu wayang aja sulit gitu ya..btw, aku pecinta wayang lho. Dirumah banyak koleksi buku Ramayana dan Mahabarata saking tergila-gilanya. Tapi, belum pernah sekalipun aku melihat pertunjukkan wayang kulit..sungguh ironi
ReplyDeleteLaaaah masa blm perna liat sekalipun??? busetttt wkwkwkwk
DeleteMaen ke sini ajakin lila mak, sekalian mak wied & narend tuh mereka jg pecinta wayang, pengin ke sini.
Well done, Mas Aji. Semoga sukses dengan lombanya.
ReplyDeleteSelain dengan Astra, mungkin nggak ya kalau desa-desa semacam ini bekerja sama dengan universitas gitu. Aku belum tau bayangannya seperti apa, tapi tampaknya bisa menjanjikan jika ada penelitian-penelitian lebih lanjut soal pembuatan wayang. Yang dipelajari tentu nggak hanya soal budaya, karena sepertinya sudah banyak sekali tulisan soal itu, bisa jadi hal lain seperti penggunaan alat atau pemberdayaan masyarakatnya, misalnya: mengapa kok menggunakan tanduk kerbau gitu. Soalnya kalau menurut pendapatku, tentu hal-hal seperti ini bisa jadi ilmu pengetahuan yang bagus. Apalagi aku membayangkan kayaknya di negara seperti Jepang juga ada universitas yang terjun juga ke desa untuk istilahnya bakti darma #halah
Kyknya uda ada sih mahasiswa yg bikin penelitian macam itu. Coba aja cari skripsinya anak2 fakultas ilmu budaya UGM. thankyu lan, amin doanya
DeleteWah termudanya 29 tahun ya. Salut tapinya karena tetap semangat meneruskan budaya. Susah banget sekarang cari pewayang. Sukses yaa lombanya mas aji :D
ReplyDeleteMakasi mba. Iya, jarang bgt ada anak muda yg mau belajar ini, termasuk aku jg sih kalu gak ke sini ya ga tau proses bikin wayang. wkwkwkw
DeleteBaru tahu kalau pegangan wayang itu dari tanduk kerbau.
ReplyDeleteSebenarnya kita punya andil juga lho melestarikan kampung wayang Sidowarno ini. Jika kita tahu, ya wajib diwartakan, seperti yang mas Aji lakukan ini.
Semoga yang direncanakan dan dicita-citakan oleh warga Sidowarno dapat terwujud dan kerajinan wayang tidak punah
Ah betul, kita punya peran masing2 sesuai bidang dan kemampuan ya.
DeleteIya, aku pun baru tau dr tanduk kerbau. Kokoh banget malah.
Ribet ternyata pembuatannya yaa
ReplyDeleteLumayan. Ehehe
DeleteSalut sama Mas Pendi. Ketika para pemuda di desanya pergi ke kota, beliau berani "tampil beda" dengan menjadi penerus usaha wayang kulit keluarganya.
ReplyDeleteTak kira pegangan wayang itu dari kayu atau bambu. Oh ternyata malah dari tanduk kerbau?
Sukses, Mas Ajik. Semoga memang. Jolali, yen oleh mobil, Blogger Solo di ajak halan-halan, ya. Hehe... Betewe, aku seneng sama kalimat-kalimat di paragraf atas-atas itu. Bagus!
*semoga menang, maksud e. Typo XD
DeleteAku pun baru tau itu tanduk kerbau. Ahahaha siappp amiiiin, makasi wis
ReplyDeleteMenarik sekali tulisannya. Ternyata susah ya, membuat wayang kulit itu. Jadi ingin berkunjung ke Sidowarno.
ReplyDeleteYuk ke Klaten. :)
DeleteMenarik kalau datang ke desa ini, ya. Gak hanya melihat wayang yang sudah jadi. Tetapi, juga bisa melihat prosesnya
ReplyDeleteBetul. Bisa belajar langsung ke pengrajinnya
Delete