Desa wisata; sebuah istilah yang sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi saya, meski pengertian desa wisata itu sendiri baru saya pahami sat...

Sejuta Inspirasi di Balik #EksplorDeswitaJogja

Desa wisata; sebuah istilah yang sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi saya, meski pengertian desa wisata itu sendiri baru saya pahami satu tahun terakhir ini. Dulu, saya sering melihat papan petunjuk atau gapura yang menuliskan kata desa wisata. Dalam hati saya sering bertanya. Sebenarnya apa itu desa wisata? Apa bedanya dengan desa-desa lainnya? Kenapa sampai bisa menyandang embel-embel “wisata” di belakangnya.
Desa Wisata Kebonagung Bantul
Desa Wisata Kebonagung Bantul

Sejauh saya mengamati desa wisata yang ada di lingkungan tempat saya tinggal, desa wisata ini tidak jauh berbeda dengan desa-desa lainnya. Hampir tidak pernah saya temukan wisatawan yang terlihat hilir mudik di desa tersebut atau setidaknya sesuatu yang menggambarkan aktifitas wisata. Dalam benak saya sempat menyimpulkan bahwa desa wisata hanyalah sematan yang berakhir di sebuah papan. Benar, meski senang berwisata, saya belum tertarik untuk memasukkan desa wisata sebagai salah satu daftar destinasi perjalanan. Wisata alam seperti pantai, gunung, atau air terjun terdengar lebih menarik. Padahal tanpa disadari, wisata tersebut bisa jadi bagian dari sebuah desa wisata.

Perkenalan saya dengan desa wisata dimulai dari Kampung Emas Gunungkidul dan Benowo Purworejo. Seperti pepatah yang mengatakan "tak kenal maka tak sayang", perkenalan saya dengan desa wisata tersebut nyatanya benar-benar membuat hati mulai terpikat. 

Puncaknya, saat saya menjadi salah satu dari sembilan travel blogger yang berkesempatan diundang oleh Forum Komunikasi Desa Wisata Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dalam famtrip #EksplorDeswitaJogja (Eksplor Desa Wisata Jogja) pada 23-26 Februari 2017 lalu. 

Dari sana, kecintaan saya dengan desa wisata semakin terpupuk. Sebagai informasi, DIY sendiri memiliki sekitar 135 desa wisata yang tersebar dalam empat kabupaten dan satu kota, dan kami berkesempatan mengenal setidaknya 10 desa wisata yang tersebar di provinsi istimewa ini. Kecintaan saya dengan desa wisata tersebut bukanlah tanpa alasan. Banyak hal yang bisa saya dapatkan dan pelajari dari sana. Bukan hanya datang, berfoto, dan kemudian pulang, seperti aktifitas wisata yang sebelumnya saya lakukan. Bisa dibilang, di desa wisata saya seperti menemukan arti berwisata yang sebenarnya. Benar, di sana saya tidak hanya menikmati keindahan alam atau keseruan atraksi yang ditawarkan masing-masing desa. Saya juga belajar tentang kehidupan. 

Desa Wisata Bejiharjo Gunungkidul
Desa Wisata Bejiharjo Gunungkidul
Dari sembilan orang yang mengikuti #EksplorDeswitaJogja ini, hanya empat orang yang sebelumnya saya kenal, sementara sisanya baru berjumpa untuk pertama kalinya. Namun dalam tiga hari itu seperti tak ada sekat di antara kami. Keseruan demi keseruan kami lewati dari satu desa wisata ke desa wisata lain, tanpa ada rasa canggung satu sama lain. Saya masih ingat bagaimana kami berteriak tanpa rasa malu saat off-road di Desa Wisata Bejiharjo Gunungkidul dan Desa Wisata Nglinggo Kulonprogo. Tertawa lepas saat berbasah-basahan di Air Terjun Sri Gethuk Desa Wisata Bleberan Gunungkidul, atau begitu intim dan akrab obrolan kami di Kampung Sosromenduran hingga pagi, seakan tak rela melepas begitu saja malam terakhir kebersamaan kami.

Desa Wisata Bleberan Gunungkidul
Desa Wisata Bleberan Gunungkidul
Tak hanya itu, keramahan dan kehangatan pokdarwis (kelompok sadar wisata) dan masyarakat desa wisata yang kami kunjungi pun saya rasakan selama #EksplorDeswitaJogja. Seperti di Desa Wisata Pancoh Sleman. Malam itu saya dibuat haru dengan sambutan masyarakat hingga kepala desa setempat yang begitu antusias berkumpul dan menampilkan kesenian karawitan. Lalu, perjumpaan singkat kami dengan masyarakat Desa Wisata Banjaroya Kulonprogo yang meski hanya sempat berbincang sebentar ditemani nyala lilin temaram, petang itu kami bercengkrama begitu hangat. Atau keramahan Mbah Jono dan Mbah Mawarti pemilik homestay di Desa Wisata Nglanggeran Gunungkidul yang membuat kami merasa seakan sedang berada di rumah sendiri. Kekeluargaan, begitu saya rasakan selama #EksplorDeswitaJogja.

Di Desa Wisata Nglanggeran, saya bertemu dengan Mbah Redjo Dimulyo sang juru kunci Kampung Pitu, yang konon sudah berusia 100 tahun meski tidak ada bukti autentik yang membenarkannya. Ialah sang pengabdi yang begitu amanah. Saya masih ingat bagaimana beliau cukup runtut menceritakan berbagai hal tentang sejarah dan mitos kampung pitu tanpa lupa batasan apa saja yang tak perlu beliau ceritakan. Ya, sebuah batas.  Tentang sebuah amanah dan kesepakatan yang hanya beliau, keraton dan Tuhan yang tahu dan tak pernah ia umbar kepada khalayak. Di akhir ceritanya, saya hanya menggumam, membiarkan kampung pitu dengan segala rahasia dan mitosnya. 

Mbah Redjo Dimulyo (Juru Kunci Kampung Pitu)
Mbah Redjo Dimulyo (Juru Kunci Kampung Pitu)
Masih di kampung pitu, kesederhanaan juga begitu tercermin dari masyarakatnya. Bagaimana masyarakat kampung ini hidup berdampingan hanya dengan enam kepala keluarga lainnya, berada jauh di atas bukit dan jauh dari modernitas. Dalam benak mereka yang terpenting adalah keluarga sehat, panen melimpah, dan ternak beranak pinak. Pergi belanja ke pusat perbelanjaan atau sekedar menonton film di bioskop barangkali tak pernah mereka pikirkan. Apalagi keinginan mengoleksi barang mewah dan bermerk. Kesederhanaan, begitu lekat dengan kampung pitu.

Kampung Pitu Desa Wisata Nglanggeran
Kampung Pitu Desa Wisata Nglanggeran
Lain lagi di Desa Wisata Malangan Sleman. Saya diajak oleh Pak Wiji dkk bersepeda keliling desa dan menengok potensi apa saja yang dimilikinya. Salah satunya saya bertemu dengan Pak Suryadi, pemilik Tunggak Semi Bamboo Handycraft, industri rumahan berupa kerajinan bambu yang sudah mendunia. Saya begitu antusias saat mendengarkan ceritanya. Tentang bagaimana orang tuanya membangun bisnis ini dari nol dan semakin berkembang saat berada di tangannya, meski melalui proses panjang dan sempat merugi yang nilainya hingga milyaran rupiah. Nyatanya hal tersebut tak membuatnya menyerah dan jutru semakin bangkit. Belajar dari pengalaman, ia mencoba mempraktikkan ide-ide baru pada kerajinannya. Dibantu oleh ratusan pegawai dan bekerjasama dengan pengrajin yang ia kumpulkan dari berbagai daerah, kini lebih dari 90 persen kerajinan bambunya berada di pasar ekspor. Sebuah pelajaran, bahwa kerja keras, konsistensi, dan inovasi tak pernah mengkhianati hasil.

Tunggak Semi Bamboo Handycraft Deswita Malangan Sleman
Tunggak Semi Bamboo Handycraft Deswita Malangan Sleman
Saya juga belajar bagaimana menghargai dan melestarikan sebuah warisan. Seperti ibu-ibu yang saya temui di Kampung Batik Giriloyo Desa Wisata Wukirsari Bantul. Semangat masyarakat desa ini tak pernah surut untuk terus melestarikan warisan nenek moyang, yakni membatik. Desa ini memang dikenal sebagai sentra batik tulis terbesar di tenggara Yogyakarta. Ribuan masyarakat yang terbagi atas 12 kelompok batik di kampung ini memiliki kemampuan membatik secara turun temurun. Konon, seni kerajinan batik tulis Giriloyo ini sudah ada sejak awal abad 17. Jari-jari itu begitu piawai memainkan lilin malam dengan canting di atas kain putih hingga tergambar motif batik yang cantik. Sebuah maha karya yang semoga terus terpelihara. 

Desa Wisata Wukirsari Bantul
Desa Wisata Wukirsari Bantul
Masih tentang semangat melestarikan warisan. Di Desa Wisata Malangan Sleman, saya dipertemukan dengan Mbah Sungkowo, sang empu seni tempa pamor Ki Empu Djeno Harumbrodjo yang hingga kini bertahan memainkan besi-besi tua yang ia sulap menjadi sebuah keris. Maha karya yang tak sembarang orang mampu membuatnya. Butuh kesabaran, ketelatenan, dan disiplin yang tinggi hanya untuk menghasilkan satu keris.  Bayangkan saja, untuk membuat satu keris, dibutuhkan waktu hingga berbulan-bulan. Sungguh sesuatu yang tak mudah, terlebih kata Mbah Sungkowo butuh konsentrasi dan ketenangan hati selama proses pembuatannya. Menurutnya, kondisi emosi akan berpengaruh dengan hasil kerisnya. Suasana hati yang kurang baik, kurang baik pula keris hasil tempanya.

Mbah Sungkowo, Empu Seni Tempa Pamor Deswita Malangan
Mbah Sungkowo, Empu Seni Tempa Pamor Deswita Malangan
Sementara di Desa Wisata Kebonagung Bantul, saya salut dengan kegigihan Pak Dalbya dan masyarakatnya yang terus gencar mempromosikan desanya, agar semakin dikenal dan ramai dikunjungi wisatawan. Apalagi salah satu aktivitas yang mereka tawarkan begitu edukatif, mengajak wisatawan mencoba bertani. Satu hal yang mungkin sering dilupakan masyarakat kita, bahwa dari aktivitas inilah perut kita dapat terisi oleh nasi. 

Desa Wisata Kebonagung Bantul
Desa Wisata Kebonagung Bantul
Seperti yang diajarkan pula oleh Pak Harsono; pemilik kebun salak di Desa Wisata Pancoh Sleman. Ia mengajarkan kami tentang budidaya salak, mulai dari pencangkokan, perkawinan, hingga cara pemetikan buahnya saat panen. Kapan lagi kita bisa tahu proses panjang dari sebuah salak, yang biasanya hanya kita dapatkan cukup dengan membelinya di toko buah.

Desa Wisata Pancoh Sleman
Desa Wisata Pancoh Sleman
Sungguh, desa wisata mengajarkan banyak hal pada saya. Setidaknya saya menjadi paham, bahwa kesimpulan awal saya tentang desa wisata yang hanya sebuah sematan dan berakhir di sebuah papan nyatanya tak selalu benar. Desa wisata begitu kaya. Kaya akan potensi alam, budaya dan kearifan lokal. Dari #EksplorDeswitaJogja saya semakin jatuh cinta pada desa wisata, dan ingin terus mengenal lebih jauh tentang desa wisata dengan sejuta inspirasinya.


*Tulisan ini merupakan catatan perjalanan yang didapat saat kegiatan #EksplorDeswitaJogja (Eksplor Desa Wisata Jogjakarta) yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Desa Wisata Provinsi DIY 23-26 Februari 2017.

Baca Juga :

18 comments:

  1. Desa wisata...kekuatan baru pariwisata Indonesia dan wujud nyata pemberdayaan warga.

    ReplyDelete
  2. Enaknya di desa wisata itu makanannya enak-enak. Apalagi yang ada micinnya, langsung dilibas.
    Buahahahahhaha

    ReplyDelete
  3. Salut buat Kakak Aji, jalan-jalan semenjak Feburari 2017, masih bisa mendetailkan cerita di tahun ini.

    ReplyDelete
  4. Salah dua manfaat jadi blogger: banyak teman dan diajak famtrip.
    Sisanya? oh tentu ngga ada. Paling ena ya ena ena* di kamar~

    *makan indomie goreng telur

    ReplyDelete
  5. Kok aku baver bacanya :')
    Iya, Mas Aji masih bisa fasih bercerita, sedangkan aku harus malu sama mas humas soalnya cuma nulis empat aja :D (Jip Pindul, Nglanggeran, Malangan, dan Offroad Nglinggo).

    Pengalaman yang tak bisa terulang :')

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha jadi kangen ya??? merontokkan perasaan2 yang ga penting. wkwkwkwk

      Delete
  6. Seketika baper pas baca part farmtrip ke Desa Benowo - Purworejo, karena dulu sempet daftar ikutan jadi peserta--tapi nggak lolos XD *iyalah, wong lagi wae mulai aktif ngeblog meneh, dadi baru ada 1,2 tulisan di blog saya. hahaha*

    ReplyDelete
  7. Wah, eksplor deswita pertama, ayo yang ketiga segera diadain...

    ReplyDelete
  8. Kapan lagi bisa eksplor desa wisata bareng-bareng? Kangen rek :(

    ReplyDelete
  9. Udah makin banyak yaaa desa wisata ini..

    ReplyDelete
  10. Sekarang banyak banget desa-desa yang disulap jadi tempat wisata.
    Selain asik juga mengedukasi.
    Duh jadi pengen bikin desa sendiri di pedalaman gitu deh :(

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung & berkenan meninggalkan komentar :)